Barisan Para Emak dan Harga Ayam di Antara Jokowinomics - Teriakan lantang terdengar dari Fifi Nurwanto dan ibu-ibu di seberang Istana Rabu (18/7) lalu. Ia dan teman- temannya yang mengatasnamakan Barisan Emak-emak Militan (BEM) memprotes harga kebutuhan pokok yang belakangan ini melambung tak terkendali.
Fifi mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera turun tangan untuk stabilitas harga barang kebutuhan pokok. Perempuan itu dan barisan emak-emak lainnya menilai kenaikan harga bahan pokok tersebut sudah menguras uang belanja.
Emak-emak tersebut mengklaim aksi yang mereka jalankan murni. Tidak ada satu pun kepentingan politik termasuk gerakan #2019gantipresiden.
Tapi, entah klaim tersebut benar atau tidak, yang pasti harga sejumlah bahan pokok pada waktu aksi digelar memang melonjak.
Di Jakarta, berdasarkan data yang dilansir CNNIndonesia.com dari infopangan.jakarta.go.id, harga telur usai Lebaran berada di kisaran Rp26 ribu-Rp30 ribu, naik dibandingkan awal Ramadan yang hanya Rp21-Rp25 ribu per kilogram.
Daging ayam dibanderol sampai Rp45 ribu, naik dibanding awal Ramadan yang hanya Rp35 ribu-Rp40 ribu per kilogram. Tak hanya di Jakarta, kenaikan juga terjadi di kota lain.
Di Bandung, harga daging ayam yang saat kondisi normal berada di kisaran Rp32 ribu per kilogram, usai Lebaran naik jadi Rp42 ribu per kilogram.
Indri, seorang ibu rumah tangga dua anak yang tinggal di kawasan Senen mengatakan kenaikan harga bahan pokok tersebut telah membuat uang belanja yang ia terima dari suaminya kian tak berharga.
Jatah belanja harian Rp100 ribu yang ia terima dari suaminya selalu ludes tak bersisa buat belanja.
Kegagalan Jokowi
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan kenaikan harga bahan pokok hanya bersifat sementara.
Untuk ayam dan telur kenaikan dipicu oleh sentimen Lebaran yang membuat pasokan biasanya berkurang. Dalam satu atau dua bulan, ia yakin harga kembali stabil.
Sementara itu, Anggota Partai Gerindra Andre Rosiade menyebut gejolak harga bahan kebutuhan pokok tidak bisa disepelekan.
Kegagalan tersebut bukan satu-satunya contoh Jokowi gagal dalam menjalankan pemerintahannya. Masih banyak contoh kegagalan lain yang dilakukan Jokowi. Salah satunya, membawa ekonomi Indonesia terbang tinggi.
Saat kampanye, Jokowi menjanjikan akan membawa ekonomi Indonesia lari kencang. Janji tersebut tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Dalam RPJMN, pemerintahan Jokowi mematok ekonomi 2019 bisa tumbuh 8 persen. Jurus ekonomi ala Jokowi kerap disebut juga sebagai 'Jokowinomics'.
Namun, sampai saat ini target tersebut masih jauh panggang dari api. Sejak awal pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi masih mandek.
Sepanjang 2015 ekonomi hanya mampu tumbuh 4,79 persen, jauh dari target sebesar 5,4 persen sampai 5,5 persen yang telah ditetapkan pemerintah pada tahun tersebut.
Kemudian, pertumbuhan ekonomi 2016 hanya mampu tumbuh 5,02 persen. Catatan sama juga terjadi pada 2017. Walaupun pertumbuhan ekonomi membaik, tapi angkanya baru mencapai 5,07 persen.
"Jadi gagal, ekonomi era Jokowi tidak meroket, yang meroket harga barang," tutur Andre kepada CNNIndonesia.com.
Kegagalan juga terjadi dalam mewujudkan Program Prioritas 'Nawa Cita'.
Dalam butir enam, Jokowi secara jelas berjanji akan menjadikan program peningkatan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional agar Indonesia bisa maju dan bangkit bersama dengan bangsa Asia lain.
Tapi, janji tersebut sampai tahun ke-4 pemerintahannya masih belum bisa diwujudkan. Gambaran paling jelas bisa dilihat dari daya saing produk Indonesia di pasar internasional terlihat dari kinerja ekspor.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan untuk awal tahun 2018, kinerja perdagangan dalam negeri masih memble. Sepanjang Januari-Juni 2018 neraca dagang defisit US$1,02 miliar atau Rp17,335 triliun (kurs Rp14.445 per dolar Amerika Serikat) akibat impor lebih besar dari ekspor.
Pada periode 2016-2017 atau tiga tahun pemerintahannya, ekspor Indonesia juga masih kalah dari negara tetangga, seperti Thailand, Malaysia dan Vietnam. Nilai ekspor tiga negara tersebut pada periode 2016-2017 berhasil mencapai US$231 miliar, US$184 miliar, dan US$160 miliar.
Nilai ekspor Indonesia hanya US$145 miliar. Selain kegagalan tersebut, Jokowi juga gagal dalam mewujudkan janjinya membawa Indonesia menjadi negara berswasembada pangan.
Saat awal memerintah, Jokowi bertekad akan menjadikan Indonesia berswasembada pangan dalam tiga tahun.
Tapi walau usia pemerintahannya tinggal setahun, target tersebut belum sepenuhnya terwujud. Sampai 2018, keran impor pangan masih dibuka.
Untuk beras misalnya, walau Kementerian Pertanian sejak dua tahun lalu mengklaim Indonesia sudah swasembada beras, sampai 2018 pemerintah masih impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Tahun ini, Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan persetujuan impor atas satu juta ton beras yang diberikan dalam dua tahap.
Impor juga masih dilakukan untuk komoditas daging dan gula. Kementerian Perdagangan awal tahun kemarin sudah memberikan persetujuan izin impor 100 ribu ton daging kerbau.
Sementara itu, untuk gula, tahun ini pemerintah masih berencana impor gula mentah sebanyak 1,1 juta ton.
Alasan Belum Tercapai
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengakui bukan pekerjaan mudah mencapai target yang telah ditetapkan. Untuk pertumbuhan ekonomi, pemerintahan Jokowi dihadapkan pada dua masalah berat.
Pertama, datang dari kondisi ekonomi global.
Sejak awal, pemerintahan Presiden Joko Widodo dihadapkan pada ketidakpastian ekonomi global yang disebabkan oleh sinyal penghentian stimulus dan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS). Hal itu yang kemudian memicu peralihan dana besar-besaran dari negara berkembang kembali ke AS.
Di awal, pemerintahan Jokowi juga dihadapkan pada perlambatan ekonomi China, salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Faktor tersebut membuat kinerja ekspor dan ekonomi Indonesia sulit lari kencang.
"Kondisi ekonomi global sejak awal memang tidak bersahabat pada Indonesia sehingga pertumbuhan ekonomi sulit dipacu," katanya kepada CNNIndonesia pekan lalu.
Kedua, datang dari dalam negeri. Kegagalan pemerintah dalam melakukan transformasi ekonomi dari yang berbasis sumber daya alam ke berbasis pengolahan.
Kegagalan tersebut membuat ekonomi Indonesia sampai saat ini masih bertumpu pada penjualan sumber daya alam. Dengan kata lain ketika penjualan sumber daya alam bagus, ekonomi akan membaik.
Begitu pula ketika penjualan dan harga komoditas seret, ekonomi juga akan melempem. Bambang menilai kemungkinan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun ke depan masih akan berada di level 5 persen.
Ekonom CORE Piter Abdullah mengatakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 7 persen-8 persen pada 2019 mendatang, maka butuh upaya di luar kebiasaan.
Pasalnya, dari beberapa komponen penopang pertumbuhan hanya investasi yang kinerjanya tetap terjaga. Sementara itu, komponen lain belakangan kinerjanya cenderung menurun.
Kondisi yang sama juga terjadi pada konsumsi atau pengeluaran rumah tangga. Sejumlah upaya memang sudah habis-habisan dilakukan oleh pemerintah, mulai dari meningkatkan pemberian bantuan sosial ke masyarakat maupun menggelontorkan THR yang cukup besar bagi para PNS Lebaran 2018 kemarin.
Tapi, perkiraan Piter upaya tersebut hanya akan mampu mendorong konsumsi rumah tangga di kisaran 5 persen saja. Dan, perkiraannya benar.
Walau sudah jor-joran mendorong konsumsi dengan menggelontorkan THR PNS yang cukup besar, pertumbuhan konsumsi masih berputar-putar di kisaran 5 persen.
"Jadi, butuh dana besar dan upaya besar, saat ini belum ada," imbuhnya.
Dan hal ini, bisa jadi mendorong Fifi Nurwanto dan barisan para emak lainnya bakal protes di depan Istana Jokowi di lain hari.
SUMBER
0 komentar:
Posting Komentar